Jumat, 06 Januari 2017

Pada Pokok Kamboja Itu, Ada Rindu



Sepuluh tahun yang lalu kami berjanji akan berkumpul bersama di bawah sebatang pohon Kamboja tua. Kini, di bawah pohon itu, kami duduk mengingat kenangan masa kecil pada sekolah lama. Pada pokok pohon besar ini tersemat kisah-kisah kami bersama Ibunda. Ibunda yang selalu mengerti isi hati kami. Ibunda yang memahami kami.
Sepuluh tahun yang lalu, kami melihatnya duduk di sini. Kami berlima mendatanginya, bertanya padanya tentang apa yang dilakukannya. Kala itu Ibunda menggeleng, mengatakan bahwa ia hanya mencari inspirasi. Maka tertulislah karya indah dari buah pikirannya yang jernih. Dibuatkanlah kami sebuah puisi.
“Adalah mimpi pada untaian doa, yang akan mengantarkan kita pada cahaya. Adalah mimpi yang akan selalu kita genggam, hingga cahaya itu sirna.”
Kami terkesima. Meski terlalu kecil untuk memahami makna kias pada larik puisi itu, tapi ada suatu kekuatan yang menjalari nadi-nadi kami ketika Ibunda membacakannya. Pelan sekali, terasa energi yang memasuki kalbu kami. Ada sesuatu yang membuat beberapa dari kami berkaca-kaca mendengar sayat larik puisi tersebut. Kala itu tepat hari Selasa saat Ibunda selesai mendeklamasikan puisinya, ia berkata pada kami.
“Sepuluh tahun mendatang, jangan lupakan Ibunda.”
Kami memandangnya dengan mata berair.
“Di sini,” lanjutnya, “di pohon Kamboja ini, akan selalu ibu ingat wajah-wajah kalian. Akan selalu ibu ingat nama-nama kalian, dan bau aroma tubuh kalian.”
Lepas itu ia menunduk, hening. Kami berlima yang masih lugu waktu itu tidak tahu bahwa ia sedang bersedih. Entah apa yang membuatnya merasakan nestapa. Apakah ia takut kehilangan kami lepas lulus Sekolah Dasar nanti? “Ibu tenang saja,” kataku hanya dalam hati. Kami berjanji tidak akan melupakannya hingga sepuluh tahun mendatang itu tiba, karena ia adalah guru kami.
***
Kami biasa memanggilnya Ibunda, sebab ia bagaikan ibu kandung kami sendiri. Ia hanyalah guru honorer yang mengabdi di pedalaman desa. Seperti halnya guru-guru pada umumnya, ia begitu mulia. Ia laksana malaikat yang siap menaungi kelas kami, kapapun itu.
Ibunda, begitu kami menyebut, tak hanya mengajarkan kami tentang ilmu pengetahuan. Ia turut mendidik kami akan makna budi pekerti. Ia pernah berkata, “Orang berbudi pekerti jauh lebih baik daripada sekadar pintar”. Maka pada suatu hari kami diajarinya untuk peduli terhadap sesama. Kami dibimbingnya memberi zakat fitrah pada fakir miskin menjelang solat ‘Ied saat hari raya Idul Fitri. Kami juga diajarinya solat lima waktu, membaca kitab suci Al-Quran, bahkan mencoba memahami makna yang terkandung di dalamnya. Ia mendidik dengan penuh kasih, seolah kami adalah anak-anak paling istimewa di atas segalanya.
Berkat sifat mulianya itu kami mengalami perkembangan pesat. Dari anak-anak kecil yang suka merepotkan orang tua, mendadak menjadi mandiri. Kami yang semula terbiasa bangun siang, sejak itu selalu bangun petang hari pada waktu subuh. Kami yang awalnya sering terlambat saat upacara bendera, sejak itu selalu berangkat lebih pagi, bahkan ketika gerbang sekolah belum dibuka sekalipun—sehingga kami menunggu di luar. Semua itu kami wujudkan atas rasa terima kasih pada cinta Ibunda yang tiada tara. Ia benar-benar mencerminkan seorang pendidik yang sesungguhnya.
Kecintaan kami terhadap Ibunda juga tampak pada semangat belajar kami yang terus menggebu-gebu. Semua berawal dari satu hal kecil ketika kami melihatnya di depan papan tulis menerangkan materi tentang rukun Islam. Saat itu, suasana panas membuat kami gerah dan malas menyimak pelajaran. Ketika matahari sudah memanggang atap seng kelas kecil kami, Ibunda Guru menghampiri kami satu-satu. Ia bertanya kenapa kami tidak tertarik pada materi, kenapa kami malas belajar.
“Kelas ini panas, Bu!” protesku.
Ibunda memandangku. Awalnya kukira ia akan memarahiku. Tapi sesuatu membuat hatiku damai karena melihat wajah ibu guru kami itu begitu sejuk, ada hal lain yang tak mampu kulukiskan ketika ia tersenyum. Ia berlari kecil mendekatiku. Tanpa kuduga sebelumnya, ia membisikkan ayat-ayat suci di telingaku. Lalu ia berdiri tegak, berjalan mengelilingi kami, bercerita tentang kisah perjuangan seorang nabi.
“Dia lahir di tahun gajah. Seorang bayi membawa Rahmat. Muhammad pribadi terpuji. Kesabaran dan keberaniannya pun teruji. Wahyu pertama diterima. Setelah merenung di gua Hira. Tugas dakwah dimulai. Tanpa pernah lelah dan lalai. Allah memerintahkan berhijrah. Dari Makkah ke Madinah. Perjuangannya tiada tara. Akhirnya Islam tegak dan jaya.”
Kami terpaku.
“Pernahkah kalian bayangkan perjalanan nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah? Pernahkah kalian bayangkan betapa melelahkannya perjalanan tersebut? Betapa panas gurun pasir luas tak terhingga? Kelas ini tak seberapa. Kita masih beruntung dapat menikmati bangku sekolah dalam ruangan sederhana. Kita masih bisa berkumpul untuk belajar, lantas saat pukul dua belas tiba, kalian bisa pulang ke rumah masing-masing. Kalian bisa tidur. Kalian bisa makan dan meminta uang jajan ke orang tua. Pernahkah kalian bayangkan betapa besar perjuangan Rasul membela Islam hingga Ia menjual baju besinya karena kelaparan?”
Kami merasakan getaran halus merasuki dada kami. Ibunda telah menanamkan syariat Islam melalui cerita Rasullah yang berjuang menegakkan kebenaran. Seketika itu kami menyesal jika menyadari diri kami adalah seorang pemalas, dan mudah menyerah ketika belajar di dalam kelas yang panas, karena sempit dan beratap seng. Kami merasakan gentar perjuangan Nabi Muhammad SAW yang telah berjihad demi umat manusia. Siang itu, Ibunda telah mengetuk pintu hati kami.
Telah kami terka bahwa Allah SWT tengah menitipkan pesan mutiara melalui tutur-kalimat Ibunda. Melalui rima dan irama setiap kata yang diungkapkan oleh beliau dengan penuh rasa. Ibunda menjelma menjadi muslimah sejati yang bertugas menyampaikan dakwah. Ia juga mengajarkan kami untuk diam sesaat azan Duhur berkumandang. Lepas itu kami mengambil air wudu bersama di kamar mandi belakang sekolah. Lantas kami solat, solat dengan khusyuk seakan kami adalah anak-anak kecil yang akan menuju surga.
“Selesai solat jangan pulang terlebih dahulu,” begitu kata Ibunda yang masih terbungkus mukenah.
“Memangnya ada apa, Ibunda Guru?”
Ibunda hanya tersenyum. Tahu-tahu saat itulah ia duduk di bawah pohon Kamboja itu. Waktu saat ia membacakan puisi untuk kami. Waktu ketika ia mengatakan janji sepuluh tahun kemudian, bahwa kami harus berkumpul di tempat ini.
***
Sepuluh tahun kemudian itu telah tiba. Namaku Gigih, dan keempat sahabatku di antaranya: Mahmud, Fuad, Zainudin, dan Iif. Kami berlima beruntung dapat menempuh jenjang pendidikan tinggi di PTN yang sama. Siang ini, kami menunggu Ibunda Erna, nama guru kami, untuk menanti janji sepuluh tahun itu. Kami menoleh pada pintu gerbang sekolah, terlihat seorang perempuan paruh baya. Rambutnya sebagian memutih dan ia tampak memakai batik hijau tua. Kami bersorak dalam hati. Dialah Ibunda Erna. Sosok yang mengantarkan kami pada perguruan tinggi negeri, tempat kami belajar saat ini. Sosok yang selalu memotivasi kami untuk terus-menerus menuntut ilmu. Kami merasa sangat bersyukur pernah memiliki guru berdedikasi seperti beliau.
“Banyak sekali perubahan yang terjadi pada diri kalian.”
Ibunda Guru menatap kami yang saat itu memakai almamater.
“Bagaimana kabarmu, Mahmud, Zainudin, Gigih, Fuad, Iif?”
Setelah mengatakan, “Alhamdulillah sehat-wal-afiat,” kami menyalaminya, mencium punggung tangannya yang dulu terhirup bau kapur tulis di sana.
“Ibu selalu berdoa agar kalian menjadi orang-orang sukses di masa depan. Kalian akan menjadi generasi penerus yang berbudi pekerti. Tapi jangan lupa, utamakan agama. Kalian harus tetap ingat bahwa urusan rohani jauh lebih penting daripada jasmani. Bukan begitu, Nak?”
Perempuan mulia itu tersenyum. Senyum yang sama indah ketika dulu ia masih mengajar kami. Ketika ia masih menjadi malaikat yang menaungi kelas kami. Lalu ia memeluk kami satu-satu, erat sekali. Sama seperti Ibunda Guru, kami membalas pelukan demikian erat mewakili rasa rindu yang dalam, pada perempuan mulia itu.

Biodata Penulis:
Mochamad Gigih Pebrianto, lahir di Mojokerto, Jawa Timur, 12 Februari 1997. Cerpennya berjudul “Kaos” terpilih sebagai finalis Lomba Menulis Kisah Inspiratif (2015) oleh Pena Nusantara. Puisinya “Ingin Kulambaikan” masuk dalam buku Orang-Orang Sandiwara (2015). Mochamad Gigih Pebrianto dapat dihubungi via surel: gigihfebri280@gmail.com, nomor telepon genggam: 0878-5656-7360, dan facebook: Gigih Febri.




0 komentar:

Posting Komentar