“Sekolah
itu nggak bikin kamu pinter, Bi.” Suara perempuan tua yang
telah melahirkannya ke dunia itu terus memenuhi kamar. Ia baru sadar, selain
dilarang sakit, orang miskin juga dilarang sekolah. SPP bulanan, uang buku,
seragam dan alat sekolah yang lainnya harus dan wajib dipenuhi jika bangku
sekolah ingin ia duduki.
Hasbi
Arqom telah lama haus bangku sekolah. Asa dan cita-cita yang selalu
diandai-andai. Ia menghela napas, tidakkah sekolah gratis? Ia kembali teringat tentang cita-citanya yang
nyaris saja ia capai, tentang diterimanya sekolah dengan uang beasiswa. Namun,
uang ternyata tak berbentuk nominal, masih saja ada pungutan liar. Cita-cita
tinggallah cita-cita yang harus ditanggalkan. Ia menghela napas lagi
-barangkali memang barangkali- selain dilarang sakit, orang miskin juga
dilarang sekolah. Ia menunduk ke bawah, lantai tanpa keramik. Lantai beralaskan
tanah di bawah kakinya, seharusnya kaki itu sekarang berjalan dengan kaos kaki
dan sepasang sepatu.
“Mak,
Hasbi mau sekolah, kata kak Ninit Hasbi pintar di kelas kursusnya. Coba lihat
aja nilai matematika, ipa dan bahasa Inggris Hasbi, rata-rata 90 semua.” Hasbi
menyodorkan buku-bukunya yang telah dinilai dengan angka 90, namun Ibunya hanya
melihat sekilas.
“Ya
sudah jangan sekolah, kan sudah ikut kursus. Bisa pinter lagi. Emak pengen ketemu kak Ninit itu, atau suruh dia
datang ke rumah, Emak mau bilang kalau teruslah ngajar, ntar Emak kasih dia sebungkus pecel dan krupuk pasir.”
Ibunya
pergi ke dapur tanpa menoleh ke arah Hasbi. Hasbi hanya diam, buka mulut sama
saja angkat senjata. Ia kini mengerti, semuanya takkan banyak berubah. Kalimat
Ibunya masih akan memenuhi kamarnya, “sekolah itu nggak bikin kamu pinter, Bi.”
***
Hari
ini kelas bahasa Inggris di kursus gratis kak Ninit, semangat Hasbi dan
teman-temannya selalu berapi-api. Sekolah Tanpa Sepatu, begitulah kak Ninit
menyebut kelas kursusnya. Sebelumnya hanya ada tiga anak yang datang untuk
belajar, itupun kak Ninit mengiming-imingi dengan sebungkus permen. Hasbi baru
bergabung sejak murid di sana berjumlah genap sepuluh. Sekolah Tanpa Sepatu
telah membuat sebagian harapannya tercapai. Ia tidak perlu bayar SPP, pakai
sepatu, tas, atau seragam, beli buku dan pensil. Kak Ninit datang dengan jutaan
ilmu dan kebaikannya seperti malaikat tak bersayap, begitu teman-temannya sering
menyebut kak Ninit.
Semua
ia ketahui dari kak Ninit jika good
morning dan good night itu beda
arti, Pluto sudah bukan bagian dari tata surya, bapak proklamator adalah Ir.
Soekarno, teori relativitas dikemukakan oleh Einstein, sampai sejarah
terbentuknya desa kecil mereka. Semua kak Ninit yang menjelaskan. Dan tentu,
otak Hasbi selalu cemerlang dan kritis. Pelajaran dilahapnya sampai habis,
pertanyaan ditanyakannya sampai meluap.
“Hasbi, dengan ilmu engkau bisa ke surga lho.”
Ucapan
kak Ninit membangunkan lamunannya setelah kelas kursus bahasa Inggris selesai.
Hasbi terperangah mendengarkan apa yang kak Ninit baru saja sampaikan. Sepengetahuannya,
hanya dengan menyayangi Ibu dapat membawanya ke surga, namun ternyata ada pintu
lain untuk bisa menuju ke sana. Dan ia baru tahu, pendidikan bukan hanya indah
di dunia saja.
“Tapi kamu juga harus membagi ilmu
yang telah kamu dapat itu Bi seperti kak Ninit sekarang ini.”
“Kenapa
kak?”
“Ilmumu
akan bermanfaat jika engkau membaginya.”
Hasbi
hanya mengangguk, menyerap apa yang kak Ninit sarankan adalah makanan
kesukaannya. Ia akan nambah lagi dan lagi jika otakknya sangat lapar. Pastinya,
dengan senang hati kak Ninit akan menuangkan segalanya yang ia ketahui tanpa
terkecuali.
***
Lelaki
itu melihat sekeliling, segala-galanya telah berubah, dengusnya. Ia melangkah
menuju ke sebuah rumah yang telah dua tahun dibelinya dari hasil pengembangan
perusahaan piranti lunak yang dikelola bersama kedua sahabat karibnya.
Perusahaan tersebut terbilang baru seumur jagung, namun keberuntungan selalu
sejalan dengan kerja keras. Perusahaannya sedang dilirik perusahaan piranti
lunak dari Brussel, setelah sebelumnya diprediksi sebagai perusahaan menjanjikan
se-Indonesia.
Kakinya
masuk ke dalam rumah, kaki yang sudah terbungkus sepasang sepatu kulit, salam
hangat dari mulutnya keluar disambut oleh perempuan tua dengan senyum
sumringah. Diciumnya punggung tangan perempuan di hadapannya, “hari ini Hasbi
mengajar dulu ya Bu,” ia bergegas ke kamarnya di lantai dua, mengganti jas
hitam dan sepatu kulit dengan kemeja biru dan sandal. Tak lupa pula membawa dua
kardus buku-buku baru yang ia beli ketika perusahaan piranti lunaknya diundang
dalam workshop di Singapura lima hari
lalu. Sedang buku-buku bekas ia dapat dari sumbangan teman-temannya yang
tertarik setelah perjalanan kesuksesannya diliput oleh tv nasional, ia kemudian
banyak mendapat rasa simpati dan tak jarang empati hingga saldo di rekeningnya bertambah.
Ia tak butuh uang, mungkin wawancara di tv nasional membuat penonton kasihan,
padahal ia hanya butuh semangat tinggi dari anak-anak bangsa ini melebihi
semangatnya sendiri. Telpon masuk dan pesan bertandang terkadang mengganggu
tidurnya, sekedar bertanya alamat kursus gratisnya atau perihal buku apa saja
yang dibutuhkan. Setidaknya menerima sumbangan turut memajukan pendidikan dan membuat
orang-orang menghargai betapa pentingnya pendidikan, ia mulai setuju.
Ruangan ini ia kenal begitu lekat; sekolah
tanpa perlu bayar SPP, pakai sepatu, tas, atau seragam, beli buku dan pensil,
juga perempuan berkerudung yang ia rindukan kediamannya.
Lalu
suara perempuan berkerudung itu mulai masuk memenuhi ruangan.
“Hasbi,
dengan ilmu engkau bisa ke surga lho.”
Setelahnya
gema yang berulang kali menggetarkan telinga dan hatinya, “tapi kamu juga harus
membagi ilmu yang telah kamu dapat itu Bi seperti kak Ninit sekarang ini.”
Disusul dengan kalimat terakhir yang masih tersimpan rapi sebagai track dalam menjemput kesuksesannya, “ilmumu
akan bermanfaat jika engkau membaginya.”
Berpikir
sejenak, mengingat kalimat Ibunya yang hampir saja membuat cita-citanya
tumbang, “sekolah itu nggak bikin
kamu pinter, Bi,” ia melanjutkan,
“tapi belajar yang membuat aku pintar.” Senyumnya seperti adonan donat sebelum digoreng
dalam minyak panas; mengembang dan begitu manis.
Ia
mulai membuka kardus-kardus dan merapikan buku-buku dari dalamnya. Setelah ini
ritual ziarah ke makam kak Ninit, ia terdiam sejenak lalu bergumam, “selamat
menikmati surga kak.” *
Bangkalan,
Januari 2016
*Rini Hardiyantini, mahasiswi Sasing UTM. Karyanya
termuat di koran lokal Madura. Beberapa antologi bersama: cerpen ‘Metamorfosis
Kupu-Kupu’ dalam ‘Lembararan Baruku Tlah Terbuka (Madza, 2015), puisi ‘Madura
yang Melaut’ dalam ‘Mekarnya Kehidupan’ (Poetry Prairie, 2015) dan ‘Kepada
Sumenep’ dalam ‘Tera Kota’ (Liliput, 2015). Kini aktif di FLP Bangkalan. Fb:
Rini Hardiyantini.
0 komentar:
Posting Komentar