Jumat, 06 Januari 2017

Sekolah Tanpa Sepatu


            “Sekolah itu nggak bikin kamu pinter, Bi.” Suara perempuan tua yang telah melahirkannya ke dunia itu terus memenuhi kamar. Ia baru sadar, selain dilarang sakit, orang miskin juga dilarang sekolah. SPP bulanan, uang buku, seragam dan alat sekolah yang lainnya harus dan wajib dipenuhi jika bangku sekolah ingin ia duduki. 
            Hasbi Arqom telah lama haus bangku sekolah. Asa dan cita-cita yang selalu diandai-andai. Ia menghela napas, tidakkah sekolah gratis?  Ia kembali teringat tentang cita-citanya yang nyaris saja ia capai, tentang diterimanya sekolah dengan uang beasiswa. Namun, uang ternyata tak berbentuk nominal, masih saja ada pungutan liar. Cita-cita tinggallah cita-cita yang harus ditanggalkan. Ia menghela napas lagi -barangkali memang barangkali- selain dilarang sakit, orang miskin juga dilarang sekolah. Ia menunduk ke bawah, lantai tanpa keramik. Lantai beralaskan tanah di bawah kakinya, seharusnya kaki itu sekarang berjalan dengan kaos kaki dan sepasang sepatu.
            “Mak, Hasbi mau sekolah, kata kak Ninit Hasbi pintar di kelas kursusnya. Coba lihat aja nilai matematika, ipa dan bahasa Inggris Hasbi, rata-rata 90 semua.” Hasbi menyodorkan buku-bukunya yang telah dinilai dengan angka 90, namun Ibunya hanya melihat sekilas.
            “Ya sudah jangan sekolah, kan sudah ikut kursus. Bisa pinter lagi. Emak pengen ketemu kak Ninit itu, atau suruh dia datang ke rumah, Emak mau bilang kalau teruslah ngajar, ntar Emak kasih dia sebungkus pecel dan krupuk pasir.”
            Ibunya pergi ke dapur tanpa menoleh ke arah Hasbi. Hasbi hanya diam, buka mulut sama saja angkat senjata. Ia kini mengerti, semuanya takkan banyak berubah. Kalimat Ibunya masih akan memenuhi kamarnya, “sekolah itu nggak bikin kamu pinter, Bi.”
***
            Hari ini kelas bahasa Inggris di kursus gratis kak Ninit, semangat Hasbi dan teman-temannya selalu berapi-api. Sekolah Tanpa Sepatu, begitulah kak Ninit menyebut kelas kursusnya. Sebelumnya hanya ada tiga anak yang datang untuk belajar, itupun kak Ninit mengiming-imingi dengan sebungkus permen. Hasbi baru bergabung sejak murid di sana berjumlah genap sepuluh. Sekolah Tanpa Sepatu telah membuat sebagian harapannya tercapai. Ia tidak perlu bayar SPP, pakai sepatu, tas, atau seragam, beli buku dan pensil. Kak Ninit datang dengan jutaan ilmu dan kebaikannya seperti malaikat tak bersayap, begitu teman-temannya sering menyebut kak Ninit.
            Semua ia ketahui dari kak Ninit jika good morning dan good night itu beda arti, Pluto sudah bukan bagian dari tata surya, bapak proklamator adalah Ir. Soekarno, teori relativitas dikemukakan oleh Einstein, sampai sejarah terbentuknya desa kecil mereka. Semua kak Ninit yang menjelaskan. Dan tentu, otak Hasbi selalu cemerlang dan kritis. Pelajaran dilahapnya sampai habis, pertanyaan ditanyakannya sampai meluap.
             “Hasbi, dengan ilmu engkau bisa ke surga lho.”
            Ucapan kak Ninit membangunkan lamunannya setelah kelas kursus bahasa Inggris selesai. Hasbi terperangah mendengarkan apa yang kak Ninit baru saja sampaikan. Sepengetahuannya, hanya dengan menyayangi Ibu dapat membawanya ke surga, namun ternyata ada pintu lain untuk bisa menuju ke sana. Dan ia baru tahu, pendidikan bukan hanya indah di dunia saja.
            “Tapi kamu juga harus membagi ilmu yang telah kamu dapat itu Bi seperti kak Ninit sekarang ini.”
            “Kenapa kak?”
            “Ilmumu akan bermanfaat jika engkau membaginya.”
            Hasbi hanya mengangguk, menyerap apa yang kak Ninit sarankan adalah makanan kesukaannya. Ia akan nambah lagi dan lagi jika otakknya sangat lapar. Pastinya, dengan senang hati kak Ninit akan menuangkan segalanya yang ia ketahui tanpa terkecuali.
***
            Lelaki itu melihat sekeliling, segala-galanya telah berubah, dengusnya. Ia melangkah menuju ke sebuah rumah yang telah dua tahun dibelinya dari hasil pengembangan perusahaan piranti lunak yang dikelola bersama kedua sahabat karibnya. Perusahaan tersebut terbilang baru seumur jagung, namun keberuntungan selalu sejalan dengan kerja keras. Perusahaannya sedang dilirik perusahaan piranti lunak dari Brussel, setelah sebelumnya diprediksi sebagai perusahaan menjanjikan se-Indonesia.
            Kakinya masuk ke dalam rumah, kaki yang sudah terbungkus sepasang sepatu kulit, salam hangat dari mulutnya keluar disambut oleh perempuan tua dengan senyum sumringah. Diciumnya punggung tangan perempuan di hadapannya, “hari ini Hasbi mengajar dulu ya Bu,” ia bergegas ke kamarnya di lantai dua, mengganti jas hitam dan sepatu kulit dengan kemeja biru dan sandal. Tak lupa pula membawa dua kardus buku-buku baru yang ia beli ketika perusahaan piranti lunaknya diundang dalam workshop di Singapura lima hari lalu. Sedang buku-buku bekas ia dapat dari sumbangan teman-temannya yang tertarik setelah perjalanan kesuksesannya diliput oleh tv nasional, ia kemudian banyak mendapat rasa simpati dan tak jarang empati hingga saldo di rekeningnya bertambah. Ia tak butuh uang, mungkin wawancara di tv nasional membuat penonton kasihan, padahal ia hanya butuh semangat tinggi dari anak-anak bangsa ini melebihi semangatnya sendiri. Telpon masuk dan pesan bertandang terkadang mengganggu tidurnya, sekedar bertanya alamat kursus gratisnya atau perihal buku apa saja yang dibutuhkan. Setidaknya menerima sumbangan turut memajukan pendidikan dan membuat orang-orang menghargai betapa pentingnya pendidikan, ia mulai setuju.
               Ruangan ini ia kenal begitu lekat; sekolah tanpa perlu bayar SPP, pakai sepatu, tas, atau seragam, beli buku dan pensil, juga perempuan berkerudung yang ia rindukan kediamannya.
            Lalu suara perempuan berkerudung itu mulai masuk memenuhi ruangan.
              “Hasbi, dengan ilmu engkau bisa ke surga lho.”
            Setelahnya gema yang berulang kali menggetarkan telinga dan hatinya, “tapi kamu juga harus membagi ilmu yang telah kamu dapat itu Bi seperti kak Ninit sekarang ini.” Disusul dengan kalimat terakhir yang masih tersimpan rapi sebagai track dalam menjemput kesuksesannya, “ilmumu akan bermanfaat jika engkau membaginya.”
            Berpikir sejenak, mengingat kalimat Ibunya yang hampir saja membuat cita-citanya tumbang, “sekolah itu nggak bikin kamu pinter, Bi,” ia melanjutkan, “tapi belajar yang membuat aku pintar.” Senyumnya seperti adonan donat sebelum digoreng dalam minyak panas; mengembang dan begitu manis.
            Ia mulai membuka kardus-kardus dan merapikan buku-buku dari dalamnya. Setelah ini ritual ziarah ke makam kak Ninit, ia terdiam sejenak lalu bergumam, “selamat menikmati surga kak.” *
Bangkalan, Januari 2016

*Rini Hardiyantini, mahasiswi Sasing UTM. Karyanya termuat di koran lokal Madura. Beberapa antologi bersama: cerpen ‘Metamorfosis Kupu-Kupu’ dalam ‘Lembararan Baruku Tlah Terbuka (Madza, 2015), puisi ‘Madura yang Melaut’ dalam ‘Mekarnya Kehidupan’ (Poetry Prairie, 2015) dan ‘Kepada Sumenep’ dalam ‘Tera Kota’ (Liliput, 2015). Kini aktif di FLP Bangkalan. Fb: Rini Hardiyantini. 

0 komentar:

Posting Komentar